Sunday, April 8, 2012

Jangan Takut Ukhti

Murtakibudz Dzunub - Kembali teringat cerita masa lalu, ada seorang ikhwan yang jatuh cinta kepada salah satu sahabat perempuannya. Rupanya ia termakan oleh prasangka dari rasa 'terlalu pede' kalau akhwat sahabatnya itu juga memiliki rasa yang sama.

Hingga pada suatu hari sang ikhwan memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya, namun sayang sang akhwat hanya menganggapnya sebagai sahabat.

Selang waktu yang terus berganti, akhirnya ikhwan tadi mulai menepikan perasaannya dan belajar untuk menerima kalau rasa cintanya bertepuk sebelah tangan. Memang sedikit ada rasa kecewa, "tapi ya sudahlah.. mungkin dia bukan jodohku..". (baca: Ikhtiar dan Pasrah Perihal Jodoh)

Satu tahun kemudian ternyata Allah membuat cerita lain, sekarang giliran sang akhwat yang dihinggapi perasaan yang sama seperti yang pernah dirasakan sang ikhwan.

Namun sang akhwat tadi sadar, tak mungkin rasanya ia menanyakan secara langsung 'apakah perasaan sang ikhwan masih tetap sama seperti dulu'.

Lama ia pendam rasa kekaguman, seakan menjadi sebuah prahara yang sulit dihadapi oleh hatinya.  Memendam rasa cinta dan sayang yang dia sendiri tak mampu untuk mengungkapkan. Dua tahun sudah ia menjalani hari dalam kegamangan fikiran, higga akhirnya ia memberanikan diri menemui salah seorang akhwat sahabatnya tentang perasaannya kepada sang ikhwan  yang selama ini ia pendam.

Ahirnya akhwat sahabatnya tadi menyarankan supaya ia mahu jujur tentang perasaannya. Kemudian dia menghubungi sang ikhwan dan menjelaskan tentang perasaan sang akhwat. Namun sayang sang ikhwan saat itu tidak lagi mempunyai perasaan yang sama seperti dua tahun yang lalu.

Setelah mendengar kabar tadi, sang akhwat hanya tertunduk lesu sembari menyesali keputusannya dulu. Sahabatnya pun tidak tega melihat kondisi kejiwaan sang akhwat. Ahirnya ia menemui sang ikhwan untuk yang kedua kali. "mohon buka lagi hatimu untuknya..", sang ikhwan hanya tersenyum rupanya dia juga tidak tega melihat akhwat yang dulu pernah dicintainya menderita karenanya. Kalau dilihat sinyal yang ia sampaikan sepertinya sang ikhwan mulai membuka kembali hatinya untuk sang akhwat.

Diaturlah pertemuan, namun sayang terjadi kesalah pahaman. Disaat sang akhwat sabar menunggu ternyata sang ikhwan tidak tahu karena memang saat itu ia tengah menyiapkan beberapa program dakwah bersama sahabatnya. Timbullah kesalah pahaman yang yang tidak pernah bisa diluruskan, karena sang akhwat menganggap, 'demi dia ia rela seharian menunggu tapi yang ditunggu didak bersedia datang'.

Setelah mengetahui kejadian itu, betapa merasa bersalahnya sang ikhwan. Karena tiap ia berpapasan dengan sang akhwat, akhwat itu selalu menghindar bahkan menutup muka dan lari menjauh.

Satu tahun kemudian, nampak sang ikhwan masih dihinggapi perasaan bersalah. Hingga ia memberanikan diri untuk silaturrahim kerumahnya. Namun semua sia-sia karena sang akhwat sudah meneruskan study qur'annya keluar negeri.

Ia hanya bisa berkata dalam hati,

Ukhti... Kenapa engkau dulu seolah takut saat berjumpa denganku. Hingga tidak pernah memberi kesempatan buatku untuk meluruskan kesalah pahaman itu? Mungkin selamanya rasa bersalah ini akan terus ada, sebelum bisa ku jelaskan padamu.

Ukhti... Mestinya kamu jangan takut dengan perasaan prasangkamu, karena tidak selamanya apa yang kamu fikirkan sesuai dengan kenyataan.

Ukhti... Andai masih ada kesempatan buatku bisa berjumpa denganmu, kata ini yang ingin pertama kali ku sampaikan padamu "saudariku... jangan takut kecewa jika kita sudah mencintai seseorang, jangan takut andai rasa yang ada pada kita tidak terbalas, jangan takut oleh rasa malu yang mengelabuimu karena tanpa kamu sadari itu hanya akan menyakiti hatimu. Biarkan rasa itu mengalir apa adanya tanpa harus tertutupi rasa malu, minder, kecewa, takut, dan lain sebagainya. Allah sudah mengetahui kemauan hatimu biarkan Dia yang menuntunmu mendapati setiap jawaban dari pertanyaan hatimu."

[inspirasi dari kisah nyata]



Posted By Kang Santri9:54:00 PM

Belajar Menjadi Ayah Yang Baik

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Seorang Muslim sudah semestinya memikirkan masa depan dengan melakukan invesment -bukan dengan stock portofolio, 401K, rumah ataupun saving account, tetapi dengan shodaqoh jariyah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan membina anak yang sholeh/-ah. Ketiga aktivitas ini ternyata tercakup dalam proses pendidikan anak dan apalagi Alhamdulillah banyak diantara kita yang telah dikaruniai anak, sehingga saya tergerak untuk merangkum 6 karakteristik kepribadian seorang ayah idaman.


1. Keteladanan

Suatu pagi, saya terperanjat ketika melihat cara putriku memakai sepatunya. Ia langsung memasukkan kakinya ke dalam sepatu tanpa melepas talinya. Rupanya selama ini ia memperhatikan bagaimana cara saya memakai sepatu. Karena malas membuka simpul tali sepatu, sering kali saya langsung memakainya tanpa membuka dan mengikat simpul tali sepatu. Saya berusaha melarangnya dengan memberikan penjelasan bhw cara memakai sepatu seperti itu bisa mengakibatkan sepatu cepat rusak. Namun hasilnya nihil.


Ini merupakan satu contoh nyata bahwa anak, terutama pada usia dini, mudah sekali mencontoh orangtuanya. Tidak perduli apakah itu benar atau salah. Nasehat kita tidak ada manfaatnya, jika kita tetap melakukan apa yang kita larang.


Apakah kita sudah memberikan teladan yang terbaik kepada anak-anak kita? Apakah kita lebih sering nonton TV dibandingkan membaca Al-Quran atau buku lain yang bermanfaat? Apakah kita lebih sering makan sambil jalan dan berdiri dibandingkan sambil duduk dengan membaca Basmallah? Apakah kita sholat terlambat dengan tergesa-gesa dibandingkan sholat tepat waktu? Apakah bacaan surat kita itu-itu saja?


Allah SWT berfirman dalam surat ash-shaff 61:2-3:
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. "


Allah SWT juga mengingatkan untuk tidak bertingkah laku seperti Bani Israil dalam firmanNya dalam surat Al-Baqoroh 2:44 "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"



2. Kasih Sayang dan Cinta

Kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus merupakan dasar penting bagi pendidikan anak. Anak-anak usia dini tidak tahu apa namanya, tapi dengan fitrahnya mereka bisa merasakannya. Lihatnya bagaimana riangnya sorot mata dan gerakan tangan serta kaki seorang bayi ketika ibunya akan mendekap dan menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Bayi kecilpun sudah mampu menangkap raut wajah yang selalu memberikan kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang dengan tulus, apalagi mereka yang sudah lebih besar.


Rasulullah SAW pada banyak hadith digambarkan sebagai sosok ayah, paman, atau kakek yang menyayangi dan mengungkapkan kasih sayangnya yang tulus ikhlas kepada anak-anak. Sebuah kisah yang menarik yang diceritakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawa'id dari Abu Laila.


Dia berkata: "Aku sedang berada di dekat Rasulullah SAW. Pada saat itu aku melihat al-Hasan dan al-Husein sedang digendong beliau. Salah seorang diantara keduanya kencing di dada dan perut beliau. Air kencingnya mengucur, lalu aku mendekati beliau. Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan kedua anakku, jangan kau ganggu mereka sampai ia selesai melepaskan hajatnya.' Kemudian Rasulullah SAW membawakan air." Dalam riwayat lain dikatakan, 'Jangan membuatnya tergesa-gesa melepaskan hajatnya.' Bagaimana dengan kita? Sudahkan kita ungkapkan kecintaan kita yang tulus kepada anak-anak kita hari ini?



3. Adil

Siapa yang belum pernah dengar kata sibling rivalry dan favoritism? Jika belum dengar, maka ketahuilah! Siapa tahu kita termasuk orang yang telah melakukannya. Seringkali kita terjebak oleh perasaan kita sehingga kita tidak berlaku adil, misalnya karena anak kita yang satu lebih penurut dibandingkan anak yang lain atau karena kita lebih suka anak perempuan daripada anak laki-laki dll. Rasulullah SAW bersabda: "Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu dalam pemberian." (HR Bukhari)


Masalah keadilan ini dikedepankan untuk mencegah timbulnya kedengkian diantara saudara. Para ahli peneliti pendidikan anak berkesimpulan bahwa faktor paling dominan yang menimbulkan rasa hasad/ dengki dalam diri anak adalah adanya pengutamaan saudara yang satu di antara saudara yang lainnya.


Anak sangat peka terhadap perubahan perilaku terhadap dirinya. Jika kita lepas kontrol, sesegera mungkin untuk memperbaiki, karena anak yang diperlakukan tidak adil bisa menempuh jalan permusuhan dengan saudaranya atau mengasingkan diri (menutup diri dan rendah diri).


4. Pergaulan dan Komunikasi

Seringkali kita berada dalam satu ruangan dengan anak-anak, tapi kita tidak bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Kita asyiik membaca koran, mereka asyiik main video game, atau nonton TV.


Banyak hadits yang menggambarkan bagaimana kedekatan pergaulan Rasulullah SAW dengan anak-anak dan remaja. Beliau bercanda dan bermain dengan mereka.

Bagaimana dengan kita yang sudah sibuk kuliah sambil bekerja plus 'ngurusin' IMSA (**smile**)? Mana ada waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak? Sebenarnya ada waktu, jika kita mengetahui strateginya.


Misalnya, sewaktu menemani anak bermain CD pendidikan di komputer, kita bisa menjelaskan cara mengerjakan/bermainnya, lalu memberi contoh sebentar, lantas bisa kita tinggalkan. Begitu pula dengan buku bacaan dan permainan lainnya. Repotnya ada sebagian ayah yang tidak mau berkumpul dengan anak-anak, terutama yang menjelang dewasa karena takut kehilangan wibawa atau kharismanya. Ini pandangan yang keliru. Yang lebih tepat adalah kita jaga keseimbangan, artinya kita tidak boleh terlalu kaku dalam memegang kekuasaan dan kharisma, tetapi juga tidak boleh terlalu longgar.



5. Bijaksana Dalam Membimbing

Rasulullah SAW bersabda: "... Binasalah orang-orang yang berlebihan ..." (HR Muslim). Jadi metoda yang paling bijaksana dalam mendidik dan mengarahkan anak adalah yang konsisten dan pertengahan - seimbang, yakni tidak membebaskan anak sebebas-bebasnya dan tidak mengekangnya; jangan terlalu sering menyanjung, namun juga jangan terlalu sering mencelanya.


Bila ayah memerintahkan sesuatu kepada anaknya, hendaknya ayah melakukannya dengan hikmah, penuh kasih sayang, dan tidak lupa membumbuinya dengan canda seperlunya. Jelaskan hikmah dan manfaatnya, sehingga anak termotivasi untuk melakukannya. Jangan lupa juga untuk memperhatikan kondisi anak dalam melaksanakan perintah atau aturan tersebut.


Imam Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa melatih pribadi perlu kelembutan, tahapan dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain, tidak menerapkan kekerasan, dan berpegang pada prinsip pencampuran antara rayuan dan ancaman.


6. Berdoa

Para nabi selalu berdoa dan memohon pertolongan Allah untuk kebaikan keturunannya. "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala." (Ibrahim:35)


"Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua(ku)Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan sholat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah do'aku." (Ibrahim:39-40)



(diambil dari Milis Muslim. Judul Asli '6 karakteristik ayah idaman')
 

Posted By Kang Santri7:08:00 PM