Thursday, February 9, 2012

Menangkal Santet 'Ala Fisika

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Santet, teluh, sihir atau apapun namanya adalah energi negatif yang mampu merusak kehidupan seseorang, berupa terkena penyakit, kehancuran rumah tangga hingga sampai kematian.

Berbagai penyelidikan pun telah banyak dilakukan ilmuwan terhadap fenomena santet dan sejenisnya. Tentu metode penelitian para ilmuwan agak berbeda dengan agamawan.

Jika para agamawan memakai rujukan dalil-dalil kitab suci (ayat kitabiyah), maka para ilmuwan menggunakan ayat kauniyah (alam semesta) untuk menyelidiki santet ini.

Penyelidikan yang menggunakan ayat kauniyah tentunya harus memiliki metode yang sifatnya ilmiah, mulai dari mencari kasus-kasus santet, tipe-tipe santet, gejala, akibat dan sebagainya.

Lalu kemudian dilakukan berbagai eksperimen untuk penyembuhannya. Salah satu kesimpulan / pendapat yang mengemuka adalah santet itu sebenarnya adalah energi. Kenapa dalam kasus santet bisa masuk paku, kalajengking, penggorengan, dan lainnya, bisa dijelaskan melalui proses materialisasi energi.

Nah, santet dan mahluk halus itu ternyata energi yang bermuatan (-). Bumipun ternyata memiliki muatan (-). Dalam hukum C Coulomb dikatakan bahwa muatan yang senama akan saling tolak menolak dan muatan yang tidak senama justru akan tarik menarik. Rumusnya :

F = K * ((Q1*Q2)/R^2)
F = gaya tarik menarik
K = Konstanta
Q1, Q2 = muatan
R = jarak

Nah karena demit alias mahluk halus dan bumi itu sama-sama bermuatan (-) makanya para demit itu tidaklah menyentuh bumi.

Orang tua jaman dulu juga sering mengingatkan jika bicara dengan orang yang tidak dikenal pada malam hari maka lihatlah apakah kakinya menapak ke bumi atau tidak. Jika tidak, maka ia berarti golongan mahluk halus.

Begitu juga dengan santet yang ternyata bermuatan (-), maka secara fisika bisa ditanggulangi atau ditangkal dengan hukum C Coulomb ini.

Disini kita tidak membahas metode melawan santet dengan zikir karena sudah banyak dibahas tapi kita akan mencoba menawarkan alternatif lainnya yang bisa bersifat "stand alone" (untuk non muslim) maupun digabungkan dengan zikir (untuk muslim).

Beberapa Metodenya :

1. Tidurlah di lantai yang langsung menyentuh bumi















Boleh gunakan alas tidur asal tidak lebih dari 15 Cm. Dengan tidur di lantai maka santet kesulitan masuk karena terhalang muatan (-) dari bumi.

2. Membuat alat elektronik yang mampu memancarkan gelombang bermuatan (-)














Makhluk halus, jin, santet, dll akan menjauh jika terkena getaran alat ini. Tapi kelemahan alat ini tidak mampu mendeteksi mahluk baik dan jahat.

Jadi, alat ini akan "menghajar" mahluk apa saja. Jika ada jin baik dan jin jahat maka keduanya akan "diusir" juga.

3. Menanam pohon atau tanaman yang memiliki muatan (-)



















Bagi yang peka spiritual, aura tanaman ini adalah terasa "dingin". Pohon yang memiliki muatan (-) diantaranya : dadap, pacar air, kelor, bambu kuning dll.

Tanaman sejenis ini paling tidak disukai mahluk halus. Biasanya tanaman bermuatan (-) ini tidaklah mencengkram terlalu kuat di tanah (bumi) dibandingkan dengan tanaman bermuatan (+)

Lain halnya dengan pohon yang memiliki muatan (+) seperti pohon asem, beringin, belimbing, kemuning, alas randu, dll maka phohon sejenis ini tentu akan menarik mahluk halus dan seringkali dijadikan tempat tinggal.

Hal ini dikarenakan ada gaya tarik menarik antara pohon (+) dan mahluk halus (-) sesuai hukum C Coulomb.

Terlepas dari berhasil atau tidaknya cara-cara di atas, semuanya pasti akan kembali bergantung pada Kekuasaan Tuhan Sang Pencipta.

Cara yang paling ampuh untuk menangkal segala hal buruk yang ada di sekeliling kita adalah tetap berserah dan mendekatkan diri kepada-Nya sembari mengharapkan perlindungan-Nya.

[Sumber: ApakabarDunia]

Posted By Kang Santri7:54:00 PM

Kata Mutiara Cinta Ala Santri

Filled under:


"Asmara adalah api Allah yang menyala, dimana datang dan perginya adalah dihati"

"Tanda-tanda cinta itu tidaklah samar pada seseorang, seperti halnya pembawa 

minyak kasturi wangian bunga semerbak tak dapat dirahasiakan"

"Sesungguhnya hati itu bila telah hilang cintanya maka bagaikan kaca 

yang pecah tak dapat di tambal lagi"

"Biarlah ku berbicara padanya dengan secarik kertas dan tarian penaku ini, 

barangkali ia mahu menerima cintaku dengan tanpa penyesalan"

"Tiada jalan bagiku padanya selain menyebutnya dengan hati 

yang dapat mengobarkan api cinta dan rindu didadaku"

"Sungguh kok andaikan engkau minta saksi akan cintaku padamu 

maka basahnya pipiku dengan air mata lebih tepat sebagai saksi"

"Kalau engkau aku ibaratkan dengan bulan purnama yang terbit, 

berarti aku mengurangi hakmu sebab engkau lebih elok dan lebih indah"

"Bukan maksud hatiku berpisah denganmu, 

akan tetapi kehendak Allah diatas semua maksudku"

"Tak ada tabir penghalang yang dapat menjauhkan harapanku terhadap dirimu. 

Langit saja masih dapat diharap cerah ketika tertutup awan"

"Bila aku berbaring seorang diri dikamarku maka seketika itu terlintas bayangmu dalam hatiku"

"Hatipun kini terbakar, airmata berderai sudah, kesusahan makin menumpuk dada dan kesabaran sudah hilang bagaimana bisa ada ketenangan? 

pada orang yang tak bisa tenang karena terluka oleh amukan cinta, rindu dan gelisah"

 "Asmara seseorang itu dapat menyebabkan dia hina
dan mendamparkannya kesebuah bencana yang panjang"

"PIndahkanlah hatimu kemanapun yang engkau sukai dari cintamu (cinta kepada Allah).
Namun ketahuilah, tak ada cinta selain cinta pertama (cinta kepada Allah).
Banyak sekali tempat dibumi ini yang disukai oleh pemuda (hamba)
Sedangkan kerinduannya selamanya pada tempat tinggal yang
pertama (kembali kepada Allah)"


"Wahai jiwaku, sabarlah jangan bergejolak. Sebab apa yang
di tentukan Allah pasti akan terjadi"


"Bacalah suratku seolah-olah engkau melihatku, dan jika
engkau tidak merasa melihatku maka rasakanlah
aku yang melihatmu"





 

Posted By Kang Santri4:08:00 PM

Cerpen (Biarlah Waktu Yang Menuntunku)

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Tampak dari kejauhan bersama kehangatan surya pagi, seorang anak kecil berlari dengan kedua kaki mungilnya yang dihiasi lumpur becek, senyum mungil nan lucu kian terukir indah tergambar diraut wajahnya. Dengan tetesan keringat yang mengguyur tubuh layaknya lelaki dewasa sambil mengayunkan sebilah sabit kecil.

"rumput-rumput ini harus aku potong", bisiknya lirih sembari mengusap keringat.

Setengah jam kemudian,

"istirahatlah dulu Jaka" terlihat seorang kakek memanggil Jaka kecil dari kejauhan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.

Keduanya mencari tempat berteduh dari panasnya terik matahari, sambil meneguk air putih yang memang sudah dipersiapkan dari rumah.

"cucuku inilah kehidupan, sekeras apapun usaha dari manusia takkan pernah bisa mencapai titik kesempurnaan, seperti rumput yang kamu potong barusan, karena suatu saat ia akan tumbuh lebat lagi"

"maksud kakek?" Jaka hanya menatap bengong pada kakeknya yang sudah sembilan tahun mengasuhnya, semenjak Jaka harus kehilangan kedua orang tuanya dalam musibah longsor didesanya beberapa tahun yang lalu.

Sang kakek hanya tersenyum karena dia yakin suatu hari nanti Jaka pasti akan mengetahuinya sendiri.
Waktu terus berlalu, bertambah dua belas tahun sudah Jaka diberi kesempatan oleh Tuhan merasakan nikmatnya masih bisa menghirup udara segar.

Dibawah rimbun wangian kamboja, Jaka mendekati gundukan pusara dengan dua batu nisan berwarna hijau yang bediri tegak diatasnya.

"maafkan Jaka kek" butiran air bening menyapa wajahnya.

"Jaka tidak ada disamping kakek ketika izro'il menjemput kakek menghadap-Nya" Jaka masih larut dalam keheningan, karena memang pada waktu itu Jaka masih berada disalah satu pondok pesantren yang ada di Jawa Tengah.

Setelah melantunan bait do'a, Jaka teringat masa kecilnya bersama sang kakek.

"kek, nasihat-nasihat yang dulu pernah kakek sampaikan akan selalu Jaka pegang hingga Jaka menyusul kakek nanti.."


Pengalaman hidup telah memberi warna di setiap jengkal langkahnya menyusuri garis hidup, hidup sebatang kara tak membuatnya menafikan keadilan Tuhan. Karena ia bisa mensyukuri nikmat Tuhan yang ia terima.

Malam itu Jaka terlihat menitikan air mata dalam munajat, sesekali ia teringat nasihat mendiang sang kakek, usaha manusia takkan bisa mencapai hasil yang sempurna.

"kek, sekarang Jaka baru mengerti, maksud dari nasihat kakek dulu, kerena kesempurnaan hanyalah ada pada-Nya."


Seiring kehidupan yang berjalan sesuai qodrat yang telah ditetapkan, ukiran kesederhanaan terpatri kuat dalam kepribadiannya, langkah kaki yang dihiasi pelangi budi serta ramah tutur sapanya yang seakan mampu menjinakkan aungan ganas serigala. Tak heran bila orang-orang sekitar banyak yang menyukainya.

Jiwa muda yang mengalir dalam darahnya dibuntal dengan balutan kulit putih bersih dan memiliki aura wajah rupawan, sepertinya menjadi satu cobaan tersendiri yang harus ia hadapi ketika ada seorang gadis selalu memperhatikan dan sepertinya menaruh harapan akan cintanya.

"apa yang harus aku lakukan?" desahnya lirih seraya menatap daun kuning yang jatuh ditiup angina sore dipelataran rumahnya.

Setelah menunaikan sholat ashar disurau, tanpa diduga terlihat gadis cantik berkerudung ungu mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum, Jaka membukakan pintu sambil menjawab salam,

"Anisa.. kamu..??" Jaka agak canggung,

"eee..ee maaf ka, boleh aku bicara sebentar..?" Jaka mempersilahkan,
Setelah pertemuannya dengan Anisa, Jaka merasa sepertinya akan ada episode baru dalam kehidupannya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hampir dua puluh tiga tahun ia lalui masa sulit tanpa mengeluh tentang keadaan yang menimpa dirinya, sampai indah masa remaja pun seakan tak pernah ia rasakan.

Ibarat menjaga nyala lilin dimalam badai, sesulit itu pula ia berusaha menjaga perasaan Anisa supaya tidak kecewa dan sakit hati. Karena memang pada saat itu Jaka bingung harus menjawab apa.

"Jaka hampir dua tahun lamanya setelah kamu pulang dari pesantren aku memendam perasaan ini, tapi mengapa sedikitpun tak pernah kamu sadari". Jaka terus teringat kata-kata Anisa. Baginya lebih sulit mengeluarkan kata-kata untuk menjawab dibanding ia harus meratakan dan meluluh-lantahkan gundukan bukit.

Demi menjaga perasaan Anisa, Jaka mengambil selembar kertas.

"Iqro' risaalati ka annaki tarooni, fain lam takun tarooni arooki."
(bacalah suratku seakan-akan engkau melihatku, andai engkau tidak melihatmu maka aku yang melihatmu)
Anisa, kegersangan bumi yang dilupakan guyuran hujan adalah satu perumpamaan yang ada padaku saat ini, sampai-sampai aku tidak menyadari tentang perasaanmu terhadapku.

Anisa, Aku hawatir dengan siraman hujan yang engkau tawarkan.

Untuk saat ini biarlah ku isi celah-celah retakan tanah dengan proses keyakinanku untuk bisa mencintaimu, sampai hati ini benar-benar siap menerima siraman hujan yang engkau tawarkan padaku.

Nampak tersirat sedikit raut kekecewaan dari raut muka Anisa, Jaka apa yang terjadi denganmu..?. digenggamnya surat Jaka erat-erat.

Tapi dalam hati "Jaka aku suka caramu menanggapi perasaanku, meski itu tidak sesuai dengan keinginanku"

Anisa pun membalas surat Jaka.

"Jaka, tak ada tabir penghalang yang dapat menjauhkan harapanku terhadap dirimu. Seperti langit yang masih dapat diharap cerah ketika tertutup awan legam.

Sunguh kok andaikan engkau minta saksi akan cintaku padamu, maka basahnya pipiku dengan air mata lebih tepat menjadi saksinya.

Masih dalam suratnya, Anisa menambahkan sebuah syair,

"Hatipun kini terbakar, air mata berderai sudah.
Kesusahan makin menumpuk didadaku.
Bagaimana ada ketenangan?
Pada orang yang tak bisa tenang karena terluka oleh amukan cinta, rindu dan gelisah?.

Jaka tampak terasa tertegun dan tersentak membacanya.

"Anisa, aku yakin Alloh sudah mempunyai rencana yang indah buat kita, entah apapun itu, dan kapan waktunya", bisiknya dalam hati.

Setelah berziarah kemakam kedua orang tua dan kakeknya, tanpa sepengetahuan Jaka lelaki separuh baya dengan janggut agak lebat yang menempel rapi didagu datang menghampiri.

"Assalamu'alaikum nak Jaka"

Setelah menjawab salam, Jaka mencoba mengenali lelaki yang menyapanya,

"masih ingat dengan paman..?"
"paman Awab?" Jaka nampak girang.

Setelah beramah-tamah menuju jalan pulang, keduanya kini duduk dibawah rimbun pohon beringin depan rumah tua yang tidak lain adalah rumah yang dulu banyak memberi pelajaran hidup bersama kakeknya.

"Nak Jaka...ada yang ingin paman sampaikan dari mendiang Mbah Zainal",

"maksud paman..?" sambil keduanya masuk kedalam rumah.


Malam itu rintik gerimis menambah kehangatan bagi manusia yang sudah lelap dalam tidur. Lukisan mendung perlahan menutup rembulan yang mulai malas menampakkan cahaya, dengan iringan kilat serta suara gaduh halilintar.

Sehabis qiyamullail, pandangan Jaka tertuju pada kotak segi empat yang terbungkus kain putih lusuh tergeletak rapi di laci.

Dengan perlahan Jaka membukanya, ia mendapati sebuah kitab dengan sampul warna hitam yang tidak lain adalah kitab Syarihul Iman karangan Syaikh Ahmad Rifa'i, juga kumpulan kertas yang berisikan nasihat.

Tanpa sengaja Jaka mendapati selembar kertas yang terselip didalam kitab dengan gaya tulisan jawa pegon, Jaka pun membaca sambil menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

"Cinta merupakan salah satu rahasia kebesaran Tuhan, dimana datang dan perginya hanyalah hati yang mengerti",

"Isyqul insani tuuritsuhudzdzulla watulqiihi filbalaa'i ththowwil" (Asmara seseorang itu dapat menyebabkan ia hina dan mendamparkannya kesebuah bencana yang panjang)

Sambil tersenyum simpul "mungkin ini tulisan kakek waktu masih seusia denganku dulu".

Tanpa ia sadari bayangan wajah Anisa penyapa ingatan.
"Anisa.. Insya Alloh..?" desahnya lirih.


Posted By Kang Santri4:00:00 PM

Kisah Haru Dari Seorang Puteri Kecil (Silahkan Menitikan Air Mata)

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Sepasang suami isteri, seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan , tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" .... Pembantu rumah yang tersentak engan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah adam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ' Saya tidak tahu..tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?" hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.

Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah.. ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah..sayang ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?... Bagaimana Dita mau bermain nanti ?... Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, " katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf...Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi..., Namun...., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya.

Subhanalloh......


Posted By Kang Santri3:17:00 PM

Sang Juara (Semoga Aku Tidak Menangis Saat Kalah)

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba balap mobil mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab ini adalah babak final. Hanya tersisa empat orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab memang itulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam empat anak yang masuk
final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan semua itu, sebab mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. setiap anak mulai bersiap digaris start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Disetiap jalur lintasan, telah siap empat mobil, dengan empat pembalap kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan empat jalur terpisah.

Namun, sesaat kemudian Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdo'a. Matanya terpejam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan do'a. Lalu, semenit
kemudian, ia berkata "ya, aku siap.."

Doorr... Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobilpun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya
masing-masing.

"Ayoo.. ayo.. cepat..cepat.. maju..maju" begitu teriak mereka. Ahha, sang pemenag harus ditentukan, tali lintasan finis pun telah terlambai. Dan Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark, ia berucap, dan berkomat-kamit dalam hati  "Terima kasih..."

Saat pembagian piala tiba. Mark maju kedepan dengan bangg. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya.

"Hai jagoan, kamu tadi pasti berdo'a kepada Tuhan agar kamu menag bukan?" Mark terdiam.

"Bukan pak, bukan itu yang aku panjatkan.." kata Mark.

Ia lalu melanjutkan,

"Sepertinya tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. "Aku hanya bermohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.." Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan.


"Mari renungi, perkataan bijak dari seorang anak kecil ini..."

Posted By Kang Santri3:12:00 PM

(Ya Rasul) Aku Ingin Anak Lekakiku Menirumu

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya:  “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”

Suamiku menjawab: “Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.” 

Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku: 

“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.”

Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata:
“Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami  itu, kami beri nama Ahmad, mengikuti panggilan Rasulnya. Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada  dirinya  seraya  berkata: Ammat! Maksudnya  ia Ahmad. Kami  berdua  sangat  bahagia dengan kehadirannya.

Ahmad  tumbuh  jadi  anak  cerdas,  persis  seperti  papanya.  Pelajaran  matematika sederhana sangat mudah dikuasainya. Ah, papanya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung  papanya.  Entah  apa  yang  menyebabkan  papanya  begitu  berang,  mungkin menganggap  Ahmad  sudah  sekolah,  sudah  terlalu  besar  untuk  main  kuda-kudaan,  atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak papanya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad terluka hatinya di hari ulang tahunnya kelima.
Sejak hari itu, Ahamad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi  suka  bertanya,  dan  ia menjadi  amat mudah marah. Aku  coba mendekati  suamiku,  dan menyampaikan  alasanku.  Ia  sedang  menyelesaikan  papernya  dan  tak  mau  diganggu  oleh urusan seremeh itu, katanya.

Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah membawakan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu:

“Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!”
Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.

“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”
Di  tanganku,  terajut  ruang  dan waktu.  Terasa  ada  yang  pedih  di  hatiku. Ada  yang mencemaskan aku.

Cucuku pulang ke rumah, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis  ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,

“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu. 

Suamiku membaca korannya, tak tergerak oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan  dirinya  di  kamar mandi.  Aku,  wanita  tua,  ruang  dan  waktu  kurajut  dalam pedih duka seorang  istri dan seorang  ibu. Aku  tak sanggup  lagi menahan gelora di dada  ini.

Pecahlah  tangisku  serasa  sudah  berabad  aku  menyimpannya.  Aku  rebut  koran  di  tangan suamiku dan kukatakan padanya: 

“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak  di  punggungmu!  Dan  ketika  aku minta  kau  perbaiki,  kau  bilang  kau  sibuk sekali.  Kau  dengar?  Kau  dengar  anakmu  tadi?  Dia  tidak  suka  dipipisi.  Dia  asing  dengan anaknya sendiri!”

Allahumma  Shali  ala Muhammad.  Allahumma  Shalli  alaihi  wassalaam.  Aku  ingin anakku menirumu, wahai Nabi. Engkau  membopong  cucu-cucumu  di  punggungmu,  engkau  bermain  berkejaran dengan mereka  Engkau  bahkan menengok  seorang  anak  yang  burung  peliharaannya mati.

Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendonganmu,  “Bekas najis  ini bisa kuseka,  tetapi apakah kau bisa menggantikan  saraf halus  yang putus di kepalanya?”

Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata. Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu? Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya menyisir kepala anaknya, yang berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan
seorang ayah yang didamba.

Dada Ahmad berguncang menerima belaian. Kukatakan di hadapan mereka berdua, “Lakukanlah  ini,  permintaan  seorang  yang  akan  dijemput  ajal  yang  tak  mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta.

Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan. Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak  akan pernah  ada perdamaian  selama  anak  laki-laki  tak diajarkan  rasa kasih dan sayang,  ucapan  kemesraan,  sentuhan  dan  belaian,  bukan  hanya  pelajaran  untuk  menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.

Dua laki-laki dewasa mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku di tempatnya. Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang:

“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua  laki-laki  dewasa  itu  kini  belajar  kembali. Menggendong  bersama,  bergantian menggantikan  popoknya,  pura-pura  merancang  hari  depan  si  bayi  sambil  tertawa-tawa berdua,  membuka  kisah-kisah  lama  mereka  yang  penuh  kabut  rahasia,  dan  menemukan betapa  sesungguhnya  di  antara  keduanya  Allah menitipkan  perasaan  saling membutuhkan yang  tak  pernah  terungkapkan  dengan  kata,  atau  sentuhan.  Kini  tawa  mereka  memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu , Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu.

Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku. Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:

Ya, Nabi. aku telah mencoba sepenuh daya tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! Amin, Alhamdulillah. 

SEBARKAN ke teman anda jika menurut anda catatan ini bermanfaat

Author : PercikanIman.org
Shared By Kisah Penuh Hikmah 


Posted By Kang Santri2:56:00 PM