Thursday, March 15, 2012

Perjalanan Spiritual

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Dari kepolosan wajahnya  sebenarnya menyimpan ribuan tanda tanya, “aku ingin seperti dia, aku ingin pinter ngaji, aku ingin menjadi orang yang shalih kelak, tapi bagaimana caranya? Kok mereka bisa ya?”
 
Mungkin seperti itulah yang ada dalam fikiran si bocah. Hari itu merupakan hari yang bersejarah baginya, karena si bocah mulai masuk pesantren.  Dengan tekad kuat, dalam hatinya “mungkin ini salah satu jalannya untuk menjadi orang yang pinter ngaji…”.

Setiap materi pelajaran dengan tekun dia pelajari, meski banyak yang kurang ia fahami. Pada suatu malam dia amat tertarik mendengar perbincangan para seniornya,

“jum’at kemarin ustadz ngasih ijazah apalagi?”

“amalan asma’ul husa sama karomah..”

Mendengar percakapan seniornya si bocah tambah penasaran,

“amalan asma’ul husa sama karomah..?? ilmu apa itu ya??”, dengan mengendap-endap sang bocah membuntuti para seniornya,

“sedang apa mereka?” si bocah tampak takjub,

“wahh, mereka sedang latihan silat..!!! hebat nih”

Hari demi hari si bocah makin tertarik untuk belajar ilmu kanuragan, hingga tiap malam dia selalu mendekati salah satu seniornya supaya mahu ngajarin. Ternyata  kemauannya didukung, hingga dia pun diajak sowan (silaturrahim) kesalah satu yang katanya sudah ahli dibidang kejadugan (olah kanuragan).

“le… ini kamu amalin ya..”

“injih mbah…”

“tapi  jangan lupa, biar bagus nanti kamu beli kemenyan putih yo..”
Si bocah tampak kelihatan sumringah.

Keesokan harinya, ada salah satu teman kakaknya yang belum lama menyelesaikan mesantren dari daerah lain berkunjung, si bocah pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu,

“kak, nyari kemenyan putih tu di mana sih?”

“meh buat ngapain…?”

“gini kak, aku dapat ijazah suruh ngamalin wirid ini… supaya reaksinya cepet harus pakai kemenyan putih..”

Sambil geleng-geleng kepala,

“buat apa kayak gituan…? Sini tak nasihatin, ilmu seperti itu paling mudah dipelajari..  jangan terburu-buru, utamain belajar baca dan mahamin kitab dulu… karena itu yang terpenting”, Si bocah sedikit kecewa,

“jangan hawatir, entar kalau sudah waktunya aku yang akan ngajarin… jangan sia-siain waktu kamu dengan melajari ilmu-ilmu seperti itu…”

Dengan tanpa mendebat  ahirnya sang bocah menuruti nasihat teman kakaknya, dan mengurungkan niatnya.

Hingga ahirnya si bocah mulai tumbuh dewasa, disela-sela waktu luangnya dia pun sedikit demi sedikit mulai mempelajari kanuragan dan hal-hal yang berhubungan dengan perkara gaib. Sebenarnya dia berbakat mempelajari ilmu itu, tapi rupanya ia sedikit bimbang,

“apa sih manfaatnya aku mempelajari ilmu ini?”
Rupanya dia tidak menemukan ketentraman setelah belajar meski hanya sedikit, dan pencarian jati diri pun dimulai.

Hari itu dia terlihat mengurung dikamar, sambil tertunduk lesu matanya tak bergeming dari tulisan hingga kedua pipi bersimbah peluh airmata. Kisah hikmah para shalafusshalih yang ia baca membuat hatinya bergetar, rasa takut, rasa syukur campur aduk jadi satu.

Dia membandingkan perjalanan spiritual  yang sudah dialami tidak ada apa-apanya, cobaan hidup yang datang silih berganti  ternyata juga belum ada apa-apanya, dibanding perjalanan spiritual manusia-manusia shalih dizaman dulu.

Waktu terus menuntun diumurnya yang menginjak 20 tahun, setelah tamat dia pun hijrah kepesantren lain. Semakin dia mendalami ilmu agama semakin pula dia merasa bahwa dirinya teramat kotor dengan tumpukan dosanya, hingga ia sampai berfikir,

Apakah ibadahku selama ini engkau terima Ya Robb…
Betapa sombongnya dahulu hamba pernah berkata, ‘ini semua aku niati demi menegakkan kalimah-Mu’

Padahal hati ini teramat jauh dari niat itu, karena kabodohan hati ini mengerti
akan kata ihlas yang semata hanya untuk-Mu..

Juga ketika Engkau uji seonggok daging ini dengan ketetapan takdir-Mu,
Hati ini merasa sudah lebih tinggi diatas mahluk lain,

Entah tangisan apa yang aku cucurkan?
Entah ketakutan apa yang aku rasakan?
Entah niat ibadah seperti apa yang sudah aku kerjakan?

Sering si bocah yang sekarang sudah beranjak dewasa ini menangis ketika mendengar muhasabah dari gurunya, hingga tak jarang kitabnya lusuh dengan tetesan airmata.

Sering si bocah yang sudah beranjak dewasa ini menyendiri disudut kamar menangisi tumpukan dosanya, ia tidak menghiraukan kawan-kawan disampingnya yang rame dengan bercanda.

Rupanya dia sangat menghawatirkan akan satu hal,

“apakah ketika aku sudah tidak dipesantren lagi aku masih bisa merasakan kenikmatan seperti ini…?” desahnya sembari menutup kitab yang ia pangku.



0 comments:

Post a Comment