Thursday, November 29, 2012

Nasehat Ulama Salaf (Tentang Diam Sirri)

Filled under: , ,

Murtakibudz Dzunub - Apakah yang dimaksud dengan diam sirri?. Ketika Abu Bakr al-Farisy ditanya tentang diam sirri, beliau menjawabnya, 

“Diam sirri adalah menjauhkan diri dari kepedihan terhadap masa  lampau dan masa depan.” 

Dikatakannya pula, 
“Apabila seorang hamba berbicara hanya mengenai sesuatu yang menyangkut kepentingannya,  dan keharusan bicaranya, maka ia termasuk diam.”

Ibnus Samma' menuturkan, bahwa Syah al-Kirmany dan Yahya bin Mu’adz berteman, dan mereka tinggal di kota yang sama, tetap Syah tidak menghadiri majelisnya. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab, 

“Sudah sepatutnya begini.” 

Orang orang pun  lantas mendesaknya terus hingga suatu hari al-Kirmany datang ke majelis Yahya dan duduk di pojok di mana Yahya tidak akan  dapat melihatnya. Yahya pun mulai berbicara, namun secara tiba-tiba ia diam. Kemudian Yahya mengumumkan, 

"Ada seseorang yang dapat berbicara lebih baik dariku,” 

dan ia tidak mampu melanjutkan perkataannya itu. Maka al-Kirmany berkata, 

“Sudah kukatakan kepada Anda semua bahwa, adalah lebih baik jika aku tidak datang ke majelis ini.”

Terkadang seorang pembicara memaksakan diri untuk diam karena keadaan tertentu yang ada pada salah seorang yang hadir. Barangkali seseorang yang hadir tidak layak mendengar pembicaraan terkait, hingga Allah swt. mencegah lidah si pembicara demi ketentraman dan perlindungan dari mendengar pembicaraan itu.

Mu’adz bin Jabal r.a. berkata, 

“Kurangilah berbicara berlebihan dengan sesama manusia dan perbanyaklah berbicara dengan Tuhanmu, mudah-mudahan hatimu akan (dapat) melihat Nya.”

Dzun Nuun al-Mishry ditanya, 

“Di antara manusia, siapakah pelindung terbaik bagi hatinya?” 

Dzun Nuun menjawab, “Yaitu orang yang paling mampu menguasai lidahnya. “

Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama lama lebih dari lidah.”

Ali bin Bukkar mencatat, “Allah menjadikan dua pintu bagi segala sesuatu, tetapi Dia menjadikan empat pintu bagi lidah, yaitu dua bibir dan dua baris gigi.”

Konon Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. biasa mengulum sebutir batu selama beberapa tahun dengan tujuan agar lebih sedikit berbicara.

Abu Hamzah al-Baghdady adalah seorang pembicara ulung. Pada suatu ketika sebuah suara menyeru kepadanya, 

“Engkau berbicara, dan bicaramu sangat bagus. Sekarang tinggallah bagimu untuk berdiam, sehingga engkau menjadi bagus!” 

Akhirnya ia tidak pernah lagi berbicara sampal wafat menjemputnya.

Para syeikh yang ahli mengenal tharikat menjelaskan, “Terkadang alasan diamnya seseorang adalah karena ada jin yang hadir, yang bukan kompetennya. Karena majelis Para Sufi tidak pernah sepi dari kehadiran sekelompok jin.”

Syeikh Abu Ali ad Daqqaq menuturkan, “Suatu ketika aku jatuh sakit di Marw, dan ingin kembali ke Naisabur. Aku bermimpi bahwa sebuah suara menyeru kepadaku, ‘Engkau tidak dapat meninggalkan kota ini. Ada sekelompok jin yang menghadiri majelis majelismu dan mereka memperoleh manfaat dari ceramah ceramah yang engkau berikan. Demi mereka, tinggallah di tempatmu’!”

Salah seorang ahli hikmah berkata, “Manusia diciptakan hanya dengan satu lidah, namun dianugerahi dua mata dan dua telinga, agar ia mendengar dan mau melihat lebih banyak dari berbicara.”

Ibrahim bin Adham diundang ke sebuah pesta. Ketika ia duduk, orang-orang mulai bergunjing dan memfitnah satu sama lain. Ia lalu berkata, “Kebiasaan kami adalah makan daging sesudah makan roti. Anda ini malah makan daging lebih dahulu. ” Ucapannya ini merujuk kepada firman Allah swt.: “Maukah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepada perbuatan itu.” (Q.s. Al Hujurat: 12).

(Dari berbagai sumber)



0 comments:

Post a Comment