Thursday, February 9, 2012

Cerpen (Biarlah Waktu Yang Menuntunku)

Filled under:

Murtakibudz Dzunub - Tampak dari kejauhan bersama kehangatan surya pagi, seorang anak kecil berlari dengan kedua kaki mungilnya yang dihiasi lumpur becek, senyum mungil nan lucu kian terukir indah tergambar diraut wajahnya. Dengan tetesan keringat yang mengguyur tubuh layaknya lelaki dewasa sambil mengayunkan sebilah sabit kecil.

"rumput-rumput ini harus aku potong", bisiknya lirih sembari mengusap keringat.

Setengah jam kemudian,

"istirahatlah dulu Jaka" terlihat seorang kakek memanggil Jaka kecil dari kejauhan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya.

Keduanya mencari tempat berteduh dari panasnya terik matahari, sambil meneguk air putih yang memang sudah dipersiapkan dari rumah.

"cucuku inilah kehidupan, sekeras apapun usaha dari manusia takkan pernah bisa mencapai titik kesempurnaan, seperti rumput yang kamu potong barusan, karena suatu saat ia akan tumbuh lebat lagi"

"maksud kakek?" Jaka hanya menatap bengong pada kakeknya yang sudah sembilan tahun mengasuhnya, semenjak Jaka harus kehilangan kedua orang tuanya dalam musibah longsor didesanya beberapa tahun yang lalu.

Sang kakek hanya tersenyum karena dia yakin suatu hari nanti Jaka pasti akan mengetahuinya sendiri.
Waktu terus berlalu, bertambah dua belas tahun sudah Jaka diberi kesempatan oleh Tuhan merasakan nikmatnya masih bisa menghirup udara segar.

Dibawah rimbun wangian kamboja, Jaka mendekati gundukan pusara dengan dua batu nisan berwarna hijau yang bediri tegak diatasnya.

"maafkan Jaka kek" butiran air bening menyapa wajahnya.

"Jaka tidak ada disamping kakek ketika izro'il menjemput kakek menghadap-Nya" Jaka masih larut dalam keheningan, karena memang pada waktu itu Jaka masih berada disalah satu pondok pesantren yang ada di Jawa Tengah.

Setelah melantunan bait do'a, Jaka teringat masa kecilnya bersama sang kakek.

"kek, nasihat-nasihat yang dulu pernah kakek sampaikan akan selalu Jaka pegang hingga Jaka menyusul kakek nanti.."


Pengalaman hidup telah memberi warna di setiap jengkal langkahnya menyusuri garis hidup, hidup sebatang kara tak membuatnya menafikan keadilan Tuhan. Karena ia bisa mensyukuri nikmat Tuhan yang ia terima.

Malam itu Jaka terlihat menitikan air mata dalam munajat, sesekali ia teringat nasihat mendiang sang kakek, usaha manusia takkan bisa mencapai hasil yang sempurna.

"kek, sekarang Jaka baru mengerti, maksud dari nasihat kakek dulu, kerena kesempurnaan hanyalah ada pada-Nya."


Seiring kehidupan yang berjalan sesuai qodrat yang telah ditetapkan, ukiran kesederhanaan terpatri kuat dalam kepribadiannya, langkah kaki yang dihiasi pelangi budi serta ramah tutur sapanya yang seakan mampu menjinakkan aungan ganas serigala. Tak heran bila orang-orang sekitar banyak yang menyukainya.

Jiwa muda yang mengalir dalam darahnya dibuntal dengan balutan kulit putih bersih dan memiliki aura wajah rupawan, sepertinya menjadi satu cobaan tersendiri yang harus ia hadapi ketika ada seorang gadis selalu memperhatikan dan sepertinya menaruh harapan akan cintanya.

"apa yang harus aku lakukan?" desahnya lirih seraya menatap daun kuning yang jatuh ditiup angina sore dipelataran rumahnya.

Setelah menunaikan sholat ashar disurau, tanpa diduga terlihat gadis cantik berkerudung ungu mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum, Jaka membukakan pintu sambil menjawab salam,

"Anisa.. kamu..??" Jaka agak canggung,

"eee..ee maaf ka, boleh aku bicara sebentar..?" Jaka mempersilahkan,
Setelah pertemuannya dengan Anisa, Jaka merasa sepertinya akan ada episode baru dalam kehidupannya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hampir dua puluh tiga tahun ia lalui masa sulit tanpa mengeluh tentang keadaan yang menimpa dirinya, sampai indah masa remaja pun seakan tak pernah ia rasakan.

Ibarat menjaga nyala lilin dimalam badai, sesulit itu pula ia berusaha menjaga perasaan Anisa supaya tidak kecewa dan sakit hati. Karena memang pada saat itu Jaka bingung harus menjawab apa.

"Jaka hampir dua tahun lamanya setelah kamu pulang dari pesantren aku memendam perasaan ini, tapi mengapa sedikitpun tak pernah kamu sadari". Jaka terus teringat kata-kata Anisa. Baginya lebih sulit mengeluarkan kata-kata untuk menjawab dibanding ia harus meratakan dan meluluh-lantahkan gundukan bukit.

Demi menjaga perasaan Anisa, Jaka mengambil selembar kertas.

"Iqro' risaalati ka annaki tarooni, fain lam takun tarooni arooki."
(bacalah suratku seakan-akan engkau melihatku, andai engkau tidak melihatmu maka aku yang melihatmu)
Anisa, kegersangan bumi yang dilupakan guyuran hujan adalah satu perumpamaan yang ada padaku saat ini, sampai-sampai aku tidak menyadari tentang perasaanmu terhadapku.

Anisa, Aku hawatir dengan siraman hujan yang engkau tawarkan.

Untuk saat ini biarlah ku isi celah-celah retakan tanah dengan proses keyakinanku untuk bisa mencintaimu, sampai hati ini benar-benar siap menerima siraman hujan yang engkau tawarkan padaku.

Nampak tersirat sedikit raut kekecewaan dari raut muka Anisa, Jaka apa yang terjadi denganmu..?. digenggamnya surat Jaka erat-erat.

Tapi dalam hati "Jaka aku suka caramu menanggapi perasaanku, meski itu tidak sesuai dengan keinginanku"

Anisa pun membalas surat Jaka.

"Jaka, tak ada tabir penghalang yang dapat menjauhkan harapanku terhadap dirimu. Seperti langit yang masih dapat diharap cerah ketika tertutup awan legam.

Sunguh kok andaikan engkau minta saksi akan cintaku padamu, maka basahnya pipiku dengan air mata lebih tepat menjadi saksinya.

Masih dalam suratnya, Anisa menambahkan sebuah syair,

"Hatipun kini terbakar, air mata berderai sudah.
Kesusahan makin menumpuk didadaku.
Bagaimana ada ketenangan?
Pada orang yang tak bisa tenang karena terluka oleh amukan cinta, rindu dan gelisah?.

Jaka tampak terasa tertegun dan tersentak membacanya.

"Anisa, aku yakin Alloh sudah mempunyai rencana yang indah buat kita, entah apapun itu, dan kapan waktunya", bisiknya dalam hati.

Setelah berziarah kemakam kedua orang tua dan kakeknya, tanpa sepengetahuan Jaka lelaki separuh baya dengan janggut agak lebat yang menempel rapi didagu datang menghampiri.

"Assalamu'alaikum nak Jaka"

Setelah menjawab salam, Jaka mencoba mengenali lelaki yang menyapanya,

"masih ingat dengan paman..?"
"paman Awab?" Jaka nampak girang.

Setelah beramah-tamah menuju jalan pulang, keduanya kini duduk dibawah rimbun pohon beringin depan rumah tua yang tidak lain adalah rumah yang dulu banyak memberi pelajaran hidup bersama kakeknya.

"Nak Jaka...ada yang ingin paman sampaikan dari mendiang Mbah Zainal",

"maksud paman..?" sambil keduanya masuk kedalam rumah.


Malam itu rintik gerimis menambah kehangatan bagi manusia yang sudah lelap dalam tidur. Lukisan mendung perlahan menutup rembulan yang mulai malas menampakkan cahaya, dengan iringan kilat serta suara gaduh halilintar.

Sehabis qiyamullail, pandangan Jaka tertuju pada kotak segi empat yang terbungkus kain putih lusuh tergeletak rapi di laci.

Dengan perlahan Jaka membukanya, ia mendapati sebuah kitab dengan sampul warna hitam yang tidak lain adalah kitab Syarihul Iman karangan Syaikh Ahmad Rifa'i, juga kumpulan kertas yang berisikan nasihat.

Tanpa sengaja Jaka mendapati selembar kertas yang terselip didalam kitab dengan gaya tulisan jawa pegon, Jaka pun membaca sambil menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

"Cinta merupakan salah satu rahasia kebesaran Tuhan, dimana datang dan perginya hanyalah hati yang mengerti",

"Isyqul insani tuuritsuhudzdzulla watulqiihi filbalaa'i ththowwil" (Asmara seseorang itu dapat menyebabkan ia hina dan mendamparkannya kesebuah bencana yang panjang)

Sambil tersenyum simpul "mungkin ini tulisan kakek waktu masih seusia denganku dulu".

Tanpa ia sadari bayangan wajah Anisa penyapa ingatan.
"Anisa.. Insya Alloh..?" desahnya lirih.


0 comments:

Post a Comment