Murtakibudz Dzunub
Atma ku layu
Karena pikiran-pikiran itu berhasil menuangkan racun di hatiku
Hingga berkali-kali ku dibuatnya mabuk kepayang
Hayalan itu begitu menikmatkanku
Hayalan itu begitu menggodaku
Hayalan itu begitu cantik buatku
Ah… hayalan itu terasa amat sempurna buat nafsuku
Perlahan ku raih ranting jiwaku yang patah
“kasihan….” Bisik sang besuta membelai kemalanganku
Aku ingin bisa ihlas dalam kehidupanku
Se-ihlas saat ku buang puntung rokok itu dijalanan
Aku ingin bisa sabar dalam kehidupanku
Se-sabar kerikil mungil itu menunggu menjadi batu
Namun sayang…
Comberan dari keangkuhanku kembali menyiram muka ku
Namun sayang…
Duri mawar itu kembali menjaihili kehusu’anku
Meskipun begitu…
Selalu kunanti biduk kecil yang bersedia membawaku menyeberang ke pulau itu
Supaya bisa ku padamkan bara dari puntung rokok hawa nafsu panasku
Supaya bisa ku titipkan kerikil kerdil pemahaman ma’rifatku didasar lautNya
Supaya bisa ku basuh muka comberan maksiatku dengan air lautNya
Supaya bisa ku hayati bahwa luka perih kecilku karena duri teguran itu menambah rasa kedloifanku padaNya, sembari berharap menemukan penawar dari terlukanya dosa
Separuh perjalanan belum kulalai…
Tiba-tiba bianglala penuh aneka warna itu menyapaku
Meski hujan tidak habis turun saat itu
“hai… siapakah biduk kecil yang kau naiki itu” tanyanya
“dia adalah biduk kecil keimananku..”
“oh ya… kenapa tampak begitu kumuh dan kotor?”
“karena aku malas membersihkannya dengan air wudlu”
“kenapa ia begitu kusam?”
“karena aku jarang memolesnya dengan tilawatil Qur’an”
“kenapa tak kau tambal celah-celah yang mulai melebar itu?”
“karena aku terlalu sibuk dengan urusan duniawiku”
“tak takutkah kau tenggelam dengan perahu seperti itu?”
“itulah keangkuhanku, seolah-olah aku sudah merasa bisa selamat sampai kepulau itu..”
“bagaimana bila nanti kedatanganku kembali, setelah hujan adzab yang teramat dahsyat?
masih bisakah kau menjumpaiku?”
“entahlah, mungkin saat itu aku sudah binasa bersama lumpur keruh dosaku, bisakah kau beri petuah untukku, karena sudah terlanjur ku lalui separuh dari perjalananku?”
“sahabatku, belum ada kata terlambat untuk memperbaiki dan mempercantik biduk kecil keimananmu, tamballah celah-celah itu dengan memperbanyak istighfar, cucilah kayu-kayu kumuh itu dengan air wudlu, setelah itu siramkan dengan ketaatanmu, hiasilah biduk kecil itu dengan ke-ihlasanmu menjalani takdirmu…”
Aku pun tertunduk mendengr petuah itu
“wahai bianglala, siapakah sebenarnya dirimu..” tanyaku
“aku adalah pelangi ilmu yang dulu sudah susah payah kau mempelajariku, aku adalah pelangi kata-kata bijak yang dulu kau rajin menyusunku, aku adalah pelangi kemuliaan yang selama ini kau lupakan..”
“kenapa tiba-tiba kau hadir, bukankah biasanya kemunculanmu datang setelah hujan rahmat dariNya?”
“memang benar, inilah salah satu tanda kebesaran Tuhanmu, juga tsamroh dari keutamaan ilmu yang dulu kau pelajari..”
“Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat. (HR. Ar-Rabii’)”