Murtakibudz Dzunub - Entah apa yang ada dalam pikirannya, masa lalu sudah ia anggap sebagai taburan debu yang dibiarkannya terbang. Sedang masa depan tak pernah ia pikirkan, "karena yang hanya ia pikirkan adalah hari ini, untuk besok kita lihat saja nanti..".
Ia tidaklah sebijak para tokoh di zaman dahulu, ia bukanlah pembuat rangkaian kata-kata yang indah yang bisa menjadi motivasi bagi pembacanya, tapi ia hanyalah manusia biasa tapi sudah berhasil mengendalikan sebagian besar hawa nafsunya.
Juga, ia bukanlah seorang cendekiawan cerdas yang ucapannya banyak didengar orang, melainkan ia hanyalah manusia yang teramat sederhana, hingga dari kesederhanaannya itu bagi orang yang terbuka mata hatinya akan banyak belajar hikmah hidup darinya.
Bahkan, ia tidak pernah tahu "devinisi bahagia itu seperti apa?", karena yang ia tahu sifat syukur diatas semua sendi kehidupan adalah perasaan yang selalu ia pegang.
Wajahnya polos, hingga tak jarang orang menaruh iba dan menganggap ia adalah salah satu element yang tidak penting hadir di tengah-tengah masyarakat. Karena banyak yang menganggap "adanya sama halnya dengan ketiadaannya".
***
Sahabat, kita sering terjebak dalam bungkus formalitas. Kita sering lena mencari nasihat hingga ahirnya jenuh dan bosan, karena ternyata ratusan kata bijak yang sudah kita hafal tidak membawa dampak apa-apa. Kita terkung-kung oleh idealis dengan sesuatu yang akan kita pilih "karena kata orang: kita harus begini dan harus begitu..". Hingga kita melupakan mengambil nilai pelajaran dari setiap cangkul yang diayun oleh petani, tentang anak kecil yang berlari tergesa sambil membawa rantang nasi dan sebotol air putih.
Bukankah kita bisa melihat, bahwa tiap ayunan cangkul yang ia lakukan padanya menyimpan harapan yang besar yang akan selalu diikuti kekecewaan di tiap hasil akhir. Meski dengan nafas terengah dan jengkal kaki yang sempit, kita bisa melihat anak itu nampak khawatir jika orang tuanya kehausan dan kelaparan karena terus asyik dengan pekerjaannya menggarap sawah. Inilah wujud dari kasih sayang dalam balut kekhawatiran, karena ia yakin meski hanya satu jengkal saja ia memberlambat lajunya maka semakin lama pula orang tuanya merasakan haus dan lapar ditengah pekerjaan beratnya.
Adakalanya, kita mengambil pelajaran hidup yang sangatlah berharga dari mereka-mereka yang kita anggap sebelumnya tidak penting dan mungkin sudah biasa kita remehkan.
Semarang, 14/08/2012
0 comments:
Post a Comment