[Mari senyum sejenak ^_^]
Ta'aruf Unik
Seorang ikhwan yang kuliah di semester akhir berazzam untuk menyempurnakan separuh dien-nya. Sebagaimana biasa, beliau pun menghubungi ustadnya dan memulai proses dari awal sampai akhirnya tiba saatnya untuk taaruf, yaitu dipertemukan dengan calonnya. Tibalah hari dan jam yang telah ditentukan, dengan semangat seorang aktivis, beliau datang tepat waktu di sebuah tempat yang telah di janjikan ustad. Taaruf pun dimulai, sang akhi duduk disebelah murobby, sementara agak jauh di depannya sang akhwat di temani murobbiyahnya dengan posisi duduk menyamping menjauhi sudut pandangan si ikhwan. Setelah sekian lama berlalu tak ada pembicaraan, sang murobby berbisik pelan pada mad'unya yang malu-malu ini, "Gimana akhi, sudah lihat akhwatnya belum, sudah mantap apa belum ?"
"Sudah Ustad, saya mantap sekali ustad, akhwatnya yang sebelah kiri itu khan?"
Murobbynya kaget, wajahnya berubah agak kemerahan. " Eh..gimana antum ! yang itu istri saya !" [ada-ada aja tuh si ikhwan :D]
Belum Menikah
Memang susah jadi ikhwan bujangan, pasti banyak sindiran dan provokasi yang datang setiap saat untuk segera menyempurnakan separuh dien ini. Apalagi jika ia juga berprofesi sebagai seorang murobbi, maka setiap pertemuan mingguan pasti ada sindiran-sindiran kecil dari para mad'unya yang rata-rata juga belum menikah. Sebenarnya sang murobbi ini nggak enak dan takut juga kalau status bujangannya ini menghalangi anak buahnya untuk segera menikah.
Akhirnya pada suatu kesempatan mingguan, setelah sekian lama para mad'unya menanyakan masalah yang satu itu, sang murobbipun berpesan singkat di hadapan para ikwah di hadapannya,
" Ikhwan sekalian, untuk masalah pernikahan.. jangan jadikan status ana sebagai penghalang kalian menikah, cukup jadikan saja saya sebagai contoh atau tauladan..! "
Para ikhwan yang mendengar pun terbengong-bengong keheranan. [mungkin dalam hati mereka pada bilang, "idiiihh.. sok kepedean amat sich hihihii...]
Kriteria Milih Calon Isteri ( 1 )
Seorang Akhi muda yang baru lulus S-2 di luar negeri ditanya oleh ustadnya mengenai kriteria akhwat yang diinginkannya. Maka dengan segala idealisme sebagai seorang Ikhwan, mulailah ia mencari-cari kriteria dan menuliskan hampir lebih dari sepuluh kriteria, kemudian menyerahkan pada ustadnya tersebut.
Kriterianya sangat bermacam-macam dan agak mengada-ada. Dari yang pertama dia harus seorang akhwat, cantik, pendidikan tinggi, Suku Sunda, berkacamata, lulus dengan cumlaude, hafal sekian juz. dan demikian seterusnya. Setelah diproses oleh sang ustad, akhirnya ia diberitahu bahwa tidak ada akhwat yang bisa sesuai dengan 10 syarat tesebut. Kemudian sang Ikhwan mengurangi kriterianya menjadi 9, setelah diproses sekian minggu ternyata hasilnya nihil. Kemudian sang ikhwan mengurangi satu lagi dari kriterianya menjadi delapan.
Dan setelah ditunggu sekian lama hasilnya tetap nihil karena terlau ideal kata ustadnya. Dan demikian seterusnya setiap kali gagal sang ikhwan mengurangi satu kriteria. Sampai setelah lewat lebih dari dua tahun sang Ikhwan akhirnya menemukan pasangan hidupnya.Tapi itupun setelah kriterianya tinggal satu! [ya iyalah tinggal satu -akhwat- nah loh... kena batunya juga kan ;)) ]
Kriteria Milih Calon Isteri ( 2 )
Seorang Akhi ditanya sang Murobby tentang kriteria seorang akhwat yang diinginkannya. Setelah beberapa saat berpikir, sang Akhi menjawab dengan malu-malu,
"Yang pertama Ustad, dia harus seorang yang cukup cantik."
"Astaghfirullah Akhi, bukannya Rasulullah menyuruh kita untuk mengutamakan agamanya dulu ? "
"Yang itu sih bukan masalah ustad ? "
"Bukan masalah bagaimana akhi, ada hadist nya lho .."
"Khan yang namanya akhwat pasti berjilbab gede, berarti semuanya kita anggap sudah punya pemahaman agama yang cukup baik, sekarang tinggal kriteria selanjutnya yaitu yang cantik "
" Antum bisa aja cari alasan !" [mungkin tidak bisa dipungkiri, kalau kecantikan itu sebenarnya nomor satu buat kebanyakan ikhwan ya.... :D ]
Kriteria Milih Calon Isteri ( 3 )
Lagi-lagi seorang Ikhwah diinterogarsi oleh murobbinya tentang calon akhwat yang diinginkannya. Ikhwan yang satu ini tampaknya sudah kena blacklist sama murobbinya karena selalu menolak memberi kriteria ketika ditanya.
" Akhi, ini yang terakhir kalinya, kira-kira seperti apa akhwat yang antum inginkan menjadi pendamping antum dalam berdakwah"
"Sudah deh ustad, ane nggak banyak minta, yang asal-asalan aja "
Sang Murobbi pun bengong dibuatnya, "Asal-asalan bagaimana maksud antum ? Antum kan punya hak untuk mengajukan kriteria."
"Maksud ane, asal sholihah, asal cantik, asal kaya, asal hafal Qur'an, asal pintar, dan asal-asalan yang lainnya ."
"Pantes saja antum nggak nikah-nikah !" [ziahahaha...parahhh :D]
Poligami
Seorang Akhi baru saja melangsungkan pernikahan dakwahnya dengan seorang akhwat yang sama-sama berjiwa aktivis pula. Minggu-minggu awal pun dilalui dengan penuh ceria, Qiyamul-lail berjamaah, baca Al-Ma'tsurat sama-sama, tabligh akbar bersama bahkan sampai demo dan longmarch pun dilakukan sama-sama. Suatu ketika setelah pulang dari suatu acara seminar bertemakan Poligami, pasangan ini terlibat dalam pembicaraan serius,
"Bagaimana Mi, pendapat Ummi tentang poligami secara umum "
"Abi, secara umum poligami tidak ada nilai buruknya sebagaimana yang digemborkan banyak orang, bahkan itu merupakan solusi satu-satunya lho."
"solusi bagaimana maksud Ummi ?"
"Maksudnya, coba deh abi lihat, berapa perbandingan jumlah ikhwan dan akhwat, di Jakarta aja lebih dari 1 : 7, kalau semuanya dapat satu-satu, maka bagaimana nasib yang tiga lainnya? "
"Kalo Ummi sudah paham, bagaimana kalo kita yang memulai ?"
"Maksud Abi bagaimana ? "
"Abi mau poligami, tapi yang cariin calonnya ummi saja ya."
"Apaa..! abi mau poligami ? "
"Ya dong, khan Ummi sendiri yang bilang tadi, ingat ini juga sunnah Nabi Muhammad SAW lho.."
"Wah ! kalo begitu abi salah menafsirkan Siroh Nabawiyah, khan Rasul berpoligami setelah istri pertamanya Kahdijah ra, meninggal.
Nah! Jadi abi boleh menikah poligami sampai empat pun boleh, asal setelah Ummi, istri pertama Abi ini, meninggal, OK ?"
"Ini pasti Murobbiyah ya yang ngajari..?"
Sang istri tersenyum manja penuh kemenangan [ahaha.. sang suami kena skak matt... -makanya kalau cari isteri jangan yg terlalu cerdas hihihi...]
Fatwa Menikah
Suatu sore di akhir Ramadhan, beberapa orang ikhwah tampak sedang bercengkrama di teras masjid Baitul Hikmah, Cilandak sambil menunggu waktu berbuka puasa. Mereka semua adalah para peserta I'tikaf Ramadhan yang datang dari tempat yang berbeda-beda. Dan mereka kini terlibat pembicaraan serius tentang kegiatan dakwah di kampusnya masing-masing. Beberapa saat kemudian datang seorang Ikhwah dengan tergesa-gesa, membawa suatu kabar.
" Assalamualaikum wr wb, Ikhwan semua, antum sudah dengar belum ada fatwa terbaru dari Dewan Syariah, baru keluar pagi tadi lho !"
Dengan serempak mereka menjawab,
" Waalaikum salam, fatwa terbaru tentang apa akhi ? "
" Tentang Menikah !"
" Menikah ? apa saja isi fatwa tersebut ? "
" Isinya cuma satu pasal tapi penting, bahwa mulai sekarang seorang Ikhwan tidak boleh menikah dengan akhwat satu kampus."
Semua ikhwah yang mendengar terkejut, dan saling memberi komentar satu sama yang
lain.
"Apa alasannya akhi, khan tidak melanggar syar'i ?"
"Kok bisa begitu, lalu bagaimana sama yang sudah berproses, langsung dibatalkan ya .."
"Ane kira ini untuk kepentingan perluasan dakwah juga .."
"Kalau ane sih milih sami'na wa atho'na saja.."
Setelah beberapa saat terjadi tukar pendapat satu sama lain, akhirnya sang Akhi yang datang bawa kabar tersebut dengan mimik serius menjelaskan,
"Tenang Akhi.., fatwa tersebut memang harus di dukung dan ada dalilnya kok, bukankah Syariah Islam membatasi seorang Ikhwan untuk menikah hanya sampai dengan empat orang akhwat, maka bagaimana mungkin seorang ikhwah mau menikah dengan 'akhwat satu kampus' yang jumlahnya ratusan ..!"
Strategi Dakwah
Jalanan kota Jakarta siang itu, seperti biasa, macet. Bus P 4 jurusan BlokM - Pulau Gadung penuh dengan penumpang.Bus itu penuh penumpang, sebagian diantaranya berdiri menggantung lengan. Bus merambat pelan seolah masih menyimpan banyak fasilitas tempat duduk yang kosong. Satu demi satu artis jalanan mulai unjuk gigi. Menghias panas terik mentari dengan lagu-lagu bertemakan sosial dan kemasyarakatan. Kadang di hiasai sindiran ala politikus, tapi kadang dinodai oleh lirik-lirik sendu yang kurang pantas dilantunkan.
Ada yang aneh terlihat. Seorang bapak-seperti dari Madura- setengah baya memakai batik, peci, dan sarung - khas pendatang baru- duduk di tepi jendela dengan tenang. Tetapi yang membuat semua penumpang terheran, bapak itu asyik menjulurkan tangannya ke luar jendela. Bukan sekali dua kali, tapi malah terus-terusan tanpa beban. Sementara penumpang lain mulai berteriak memberi peringatan.
"Pak, Hati-hati.. tangan bapak dimasukkan bisa patah kena mobil nanti ." seru seorang ibu yang duduk di sebelahnya.
"Pak, kemarin ada peristiwa seperti itu. Tangan seorang kakek lepas saat terjulur keluar dan tersangkut pohon di tepi jalan..hi..ngeri. " seorang lainnya ikut menakut-nakuti.
Pak Kondektur pun tak tinggal diam. Tampaknya kesabarannya sudah menipis, aksen batak pun menambah ketegangan.
"Bah, ini orang tak tahu di untung, kalo tak lepas itu tangan, matilah kau."
Tapi sang Bapak tak bergeming sedikitpun. Tangannya masih asyik terjulur dan mengayun-ayun di luar jendela. Sorot matanya yang lugu pun terkesan percaya diri. Seolah ia tahu apa yang dilakukan dan apa akibatnya. Sebenarnya apa yang ada di benak Bapak tersebut ?
Seorang ikhwan yang bergelantung agak jauh dari bapak tersebut segera bereaksi. Setelah mengamati gerak-gerik, sorot mata, dan mimik wajah tersebut, sang akhi ikut memperingatkan sang Bapak. Tapi peringatan ini lain dari seruan-seruan sebelumnya.
Dengan santun sang akhi berteriak ,
"Maaf Pak, kalau tangan bapak nggak di masukkan, nanti sayang lho kalo kena pohon, bisa hancur dan rusak pohonnya. Apalagi kalo kena tiang listrik, wah nanti tiangnya patah seluruh kota bisa padam listriknya Pak. Jadi saya usul dimasukkin saja pak tangannya, biar nggak terjadi kerusakan nantinya.... "
Mendengar usulan sang akhi tersebut, sang Bapak tampak tersenyum. Ia paham betul dengan peringatan tersebut. Nampaknya ia sepakat dengan sang akhi. Ia tidak ingin pohon-pohon dan tiang itu rusak karena ulah tangannya. Makanya dengan cepat ia tarik tangannya ke dalam bus kembali. Selesai persolan semua penumpang menjadi lega. Sebagian lain tersenyum sambil berbisik-bisik menduga-duga.
"Oooo..ternyata Bapak ini dari tadi percaya diri karena yakin dengan kesaktian tangannya tooo.. Alah-alaaaaaaaah. , untung tadi nggak jadi nabrak pohon"
Dalam berdakwah, kita juga harus tahu bahasa yang terbaik bagi setiap orang berbeda, sesuai dengan latar belakang objek dakwah masing-masing. Bukan sekedar bahasa dakwah, tapi bahasa dakwah yang terbaik. Akh kita tadi, telah memberi contoh yang sedemikian nyata. Bisakah anda bayangkan jika tangan sakti sang Bapak terbentur sebuah pohon besar ?
Masih mau Sekolah
Seorang ikhwan yang baru saja menyelesaikan studi S1 nya menghubungi sang Murobby. Apalagi kalau bukan untuk meminta sang ustad mencarikan jodoh terbaik baginya. Tentu saja sang akhi ini tidak sekedar ingin menikah, tapi juga siap menikah. Lho, apa bedanya ?.
Ingin menikah bagi seorang akhi cenderung bersifat objektif. Artinya ia menginginkan atau menuntut seorang akhwat -yang akan menjadi istrinya nanti - untuk tampil dengan performance dan sifat yang terbaik, menurutnya. Bisa jadi ia ingin seorang akhwat yang harus cantik, tinggi, pintar masak, cerdas, penyabar dan lain sebagainya. Atau bisa jadi ia menginginkan yang lebih spesifik misalnya seorang dokter, dosen, hafidzah, atau mungkin yang berasal dari suku tertentu. Lebih parah lagi jika 'ingin menikah' di sini berarti : ingin menikahi ukhti A, B atau C. Yang jenis ini bukan berarti tidak boleh. Hanya saja, kurang elegan.
Lalu bagaimana dengan siap menikah? Siap menikah bagi seorang akhi berarti kesiapan dari sisi subjektif dirinya. Artinya, ia akan mengukur kemampuan dirinya untuk memimpin rumahtangga, tanpa banyak terpengaruh faktor siapa yang akan mendampinginya. Dengan bahasa lain, dia punya kesimpulan : " yang penting ana harus siap dan baik dulu, siapapun istri ana dan bagaimanapun dia, toh ana juga yang harus membimbingnya ". Yang jenis ini lebih elegan. Artinya siap mental dalam menikah.
Nah kembali ke cerita sang akhi yang selain ingin, juga siap untuk menikah. Sang murobby yang dikonfirmasi pun menyambut permintaan ini dengan semangat. Betapa tidak? bukankah menjodohkan adalah sebuah amalan mulia. Apalagi yang dijodohkan adalah ikhwan dan akhwat yang masing-masing mempunyai misi dan visi untuk dakwah?
Maka dimulailah proyek perjodohan yang indah dan terjaga oleh sang Murobby. Dari mulai tukar biodata sampai ta'aruf belum terlihat ada masalah. Namun ketika sang murobby mengkonfirmasi kesediaan sang akhwat, ternyata sang akhwat menolak. Entah sang akhwat punya alasan apa, yang jelas ia hanya bisa beralasan pada sang murrobby :" Afwan ustad, saya masih mau melanjutkan sekolah dulu.."
Terpukul hati sang akhi mendengar jawaban sang akhwat. Pikirnya dalam hati, mengapa kalau masih mau sekolah ia bersedia memberikan biodatanya dan bahkan sampai proses taaruf ?
Sang murrobby pun merasakan hal yang sama. Ada apa gerangan di balik penolakan ini ?.
Sang Akhi beritikad baik untuk tetap menikah. Sang murrobby pun kembali dengan senang hati membantu sang akhi. Dilalui proses dari awal sebagaimana yang pertama tadi. Namun sayang seribu sayang. Kasus penolakan yang pertama kembali terulang. Masih dengan alasan yang sama : sang akhwat masih mau melanjutkan sekolah.
Pusing kembali melanda sang akhi kita ini. Dicobanya sekian kali untuk berinstropeksi: Adakah yang salah dalam biodatanya ? Atau ada kesalahan kah saat taaruf kemarin ? Ah , rasa-rasanya semuanya begitu lancar, tak ada masalah.
Atau masalah penampilan fisik?. Ah, benarkah itu masih menjadi kriteria yang prinsip di jaman ini? . Sang akhi bingung, ia benar-benar belum menemukan jawaban yang tepat atas kasus penolakan dirinya.
Sang murroby tampaknya ikut merasa bertanggung jawab dengan penolakan tersebut. Mungkin karena merasa kasihan dengan dua kali penolakan tersebut, sang murrobby pun berinisiatif untuk ambil langkah yang lain. Kebetulan ia mempunyai adik perempuan yang juga seorang akhwat. Maka setelah mengadakan briefing yang intensif terhadap sang adik, dimulailah proses perjodohan keduanya. Biodata adik sang murroby pun berpindah ke tangan sang akhi ini. Dengan seksama di baca semua point di dalamnya. Tidak lupa dua lembar foto ukuran post card juga diperhatikan agak lama.
Sang Murobby yang juga kakak sang akhwat terburu-buru untuk menanyakan kesediaan sang akhi untuk meneruskan proses.
"Gimana akhi, antum bersedia melanjutkan proses ini kan? "
Sang akhi bingung bukan kepalang. Ada perasaan kurang sreg dalam dadanya. Lebih-lebih saat melihat dua lembar foto sang akhwat. Diulang-ulang kembali, sama saja. Ada rasa kurang berkenan yang muncul terus menerus dan mengganggu.
"Gimana Akhi, sudah siap untuk meneruskan prosesnya ? "
Pertanyaan sang murobby menambah kegalauannya. Keringat dingin mulai menetes dari dahinya. Ia menunduk agak lama.
Sang akhi merenung sejenak, berinstropeksi. Sejurus kemudian ia mulai mengangkat kepala. Tersenyum. Baru sekarang ia tahu alasan mengapa dua akhwat yang terdahulu menolak dirinya: kriteria fisik !! Kriteria fisik , kedengarannya memang lucu. Tapi ternyata ia selalu menjadi begitu kontemporer. Selalu saja ada di mana saja dan kapan saja.
"Gimana akhi, bisa di jawab sekarang?? "
Dengan sedikit berdehem, sang akhi menjawab,
"Afwan Ustad, setelah saya pikir-pikir, nampaknya saya " masih mau melanjutkan sekolah " saja ustad ... "
Lemes tubuh sang murrobby. Namun ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati ia berkata : Dasar aktifis jaman kini, masih teguh mempertahankan kriteria fisik!!!. Andakah salah satunya? [Sumber: http://84ilham.multiply.com/]
0 comments:
Post a Comment