Murtakibudz Dzunub - (Nafsu dari kedua mata, nafsu dari ucapan, nafsu dari pemikiran, nafsu dari tulisan, dan semua nafsu yang lahir dari anggota badan dan angan-angan )
“Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi.”
(HR. Al Hakim dan Ath-Thahawi)
Tersebutlah dua insan anak manusia ia adalah Yusuf dan Aisyah, keduanya dipertemukan lewat dunia tulis-menulis. Kisah ini mereka awali dengan tidak sengaja setelah salah satu dari mereka merasa diambang keputusasaan mencari pasangan hidup.
Kita mulai dari kisah Yusuf,
Dulu ia pernah jatuh hati pada seorang gadis, sebenarnya gayung pun bersambut gadis itu juga mempunyai persaan yang sama. Namun sayang keduanya berat untuk mengatakan perasaannya masing-masing, hingga bisa dikatakan cinta mereka bak terpendam di jabal uhud. Hingga takdir berkata lain ketika orang tua gadis berkata pada suatu malam,
“Rahma… bapak lihat rasanya kamu sudah pantas untuk menikah”
“maksud bapak…?” Rahma belum mengerti maksud ucapan ayahnya,
“begini Rahma, kemarin ada temen lama bapak yang silaturrahim kerumah, beliau mengutarakan ingin menikahkan putranya dengan kamu, apa kamu bersedia?”
“apa pak…?” Rahma kaget.
Hingga setelah melalui dialog yang lumayan alot selama berhari-hari, ahirnya Rahma pun menuruti perjodohan dari orang tuanya.
Betapa pilu dan hancurnya hati Yusuf mendengar kabar tersebuat, hingga seolah ia merasa trauma dengan apa yang namanya jatuh cinta, apa lagi tentang menikah.
Beda lagi dengan Aisyah,
Menjelang ‘yaumul khitbah’ ia berdebat hebat dengan calon tunangannya,
“sepertinya kita sudah tidak sependapat lagi mas..” Aisyah sambil menundunkkan wajah,
“maksud kamu apa Aisyah..?” Tanya lelaki yang dihadapannya sambil mengerutkan dahi,
“mas… aku tidak mungkin menangalkan jilbab setelah menikah denganmu, aku tidak mahu melanggar syari’at…”. Aisyah menjelaskan
“oke, baiklah kalau begitu kita batalin saja rencana pertunangan kita…”. Calon tunangannya mengancam,
“kalau itu memang yang terbaik untuk kita, aku ihlas mas…” Aisyah terlihat pasrah.
Kita tinggalkan dulu kisah masa lalu mereka,
Malam itu sekitar jam 20.00 wib melalui ruang chatting, keduanya terlihat sedang serang-serangan syair tentang Al-Isyqu (asmara),
Setelah Aisyah menulis syair yang kesebelas,
“sesungguhnya hati itu bila telah hilang cintanya, maka bagaikan kaca yang pecah tak dapat ditambal lagi…” balas Yusuf,
Namun kali ini Aisyah membalasnya dengan hadits,
“Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya. (HR. Abu Dawud)”
Belum sempat Yusuf membalas,
“Hadis riwayat Sa`ad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:
Rasulullah saw. melarang Usman bin Mazh`un hidup mengurung diri untuk beribadah dan menjauhi wanita (istri) dan seandainya beliau mengizinkan, niscaya kami akan mengebiri diri. (Shahih Muslim No.2488)” Aisyah menambahi,
Sejenak Yusuf terdiam, setelah hampir 24 menit Yusuf belum membalas,
“dorrr… hey, kamu kenapa diam akhi ^_^..?” tulis Aisyah ingin melanjutkan obrolan,
“nggak apa-apa ukhti.. makasih ya udah ngingetin dengan hadits ini… ” balas Yusuf,
“loh emang kenapa….?”,
“ya… cocok aja sebagai penawar trauma masa lalu heheee…” Yusuf sambil bercanda,
Hubungan persahabatan mereka jalin dengan tidak menanggalkan norma syariat kalau dilihat dari sisi caranya berta’aruf.
Ahirnya, setelah hampir enam bulan masa ta’aruf kembali cerita seperti yang sebelumnya Yusuf alami terulang, Yusuf bisa mengobati trauma masa lalunya setelah mengenal Aisyah.
Tapi bagaimana dengan Aisyah? Apakah dia juga sudah membuka hatinya untuk lelaki?
Ternyata rasa kepasrahannya tentang siapakah jodohnya kelak tidak pernah membuatnya metutup diri, karena ia sudah berhasil menentramkan dirinya dengan keyakinan takdir yang sudah ditetapkan dari-Nya. Dan ini merupakan salah satu ciri dari wanita Shalihan (baca: Cinta Suci Muslimah Sejati)
Hingga terucaplah sepatah kata cinta dari keduanya, dimana keduanya sama-sama taat menjalankan syari’at hingga lahirlah ungkapan azimat,
“sebelum ijab-qabul dilafadz-kan syari’at masih membatasi cinta ini, mari bersama pelajari ilmu dalam berumah tangga agar kita lebih siap menuju kearah yang mulia itu…”
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” (Muttafaq Alaihi).
0 comments:
Post a Comment